Budidaya Ikan Belum Berkembang
Sungai sesungguhnya sangat kaya dengan sumber daya ikan.
Ikan-ikan hias berharga mahal, seperti arwana merah dan koi, berasal dari
perairan umum. Itu sebabnya, usaha budidaya ikan di sungai dan danau sangat
dianjurkan guna meningkatkan pendapatan masyarakat.
Akan tetapi, di Sungai Musi usaha budidaya belum berkembang
optimal. Dalam perjalanan tim Jelajah Musi 2010 mulai dari hulu hingga hilir
sejauh sekitar 640 kilometer jarang ditemukan usaha budidaya perikanan. Usaha
budidaya tersebut banyak ditemukan mulai dari Rantau Bayur, Kabupaten
Banyuasin, hingga menjelang Kota Palembang. Namun, kegiatannya selalu berskala
kecil dan cuma menjadi usaha sampingan warga setempat.
Budidaya ikan dalam keramba dilakukan pula oleh sejumlah
warga Desa Petaling, Kecamatan Lais, Kabupaten Musi Banyuasin. Warga membuat
keramba di tepian Sungai Batanghari Leko, tidak jauh dari muara. Para peternak ikan itu memanfaatkan kondisi air sungai
yang tidak sekeruh Sungai Musi, umumnya dengan beternak ikan patin. Sungai
Batanghari Leko adalah salah satu dari delapan anak sungai besar (sub-DAS)
Musi.
Zainal Aripin (37), warga Desa Tebing Abang, Kecamatan
Rantau Bayur, misalnya, sedang membudidayakan ikan betutu dalam satu keramba
berukuran 3 meter x 1,5 meter dengan kedalaman 2 meter. Dalam keramba itu
ditebarkan 1.000 ekor ikan betutu.
Setelah dibudidayakan selama delapan bulan sampai setahun,
ikan tersebut pun dipanen. Penyusutan akibat kematian rata-rata 10 persen atau
ikan yang hidup dan layak dijual sebanyak 900 ekor.
Saat panen, berat ikan betutu rata-rata 8 ons. Berarti total
ikan yang dipanen Zainal sebanyak 1.125 kilogram. Ikan ini biasanya langsung
dibeli pedagang dari Palembang
di tempat budidaya seharga Rp 110.000 per kg. Dengan demikian, total pendapatan
yang diperoleh Zainal dari satu keramba tersebut sekitar Rp 123,750 juta.
”Pendapatan yang saya dapatkan memang lumayan banyak, tetapi saya tak berani
membudidayakan dalam skala besar, termasuk menjadikan sebagai kegiatan pokok.
Saya belum berani menghadapi risiko,” kata Zainal.
Dia mengaku, beberapa tahun lalu pernah membudidayakan ikan
betutu dalam 10 keramba. Apalagi, bibit ikan tersebut mudah didapatkan, yakni
ditangkap pada April-Juni saat musim kemarau. Ketika itu, air Sungai Musi surut
sehingga ikan betutu cenderung masuk ke alur anak-anak sungai yang kecil dan
rawa.
”Di situlah ikan tersebut ditangkap hidup oleh masyarakat
setempat, lalu dijual kepada pembudidaya seharga Rp 30.000 per kg. Satu
kilogram berisi lima
ekor ikan betutu,” ujar Zainal.
Akan tetapi, keinginannya untuk mendapat penghasilan besar
dari usaha budidaya ikan betutu di 10 keramba akhirnya gagal total. Mayoritas
ikan-ikan tersebut mendadak mati karena terserang penyakit. ”Sejak kasus itu,
saya langsung memutuskan membudidayakan hanya di satu keramba biar lebih aman,”
kata Zainal.
Belum berkesinambungan
Lain dengan Zainal, Agus Salim (42), warga Desa Rantau
Harapan II, Kecamatan Rantau Bayur, malah berani membudidayakan ikan jelawat di
10 keramba. Setiap keramba ukuran 3 meter x 2 meter dengan kedalaman 1,5 meter
itu diisi 1.000-2.000 ekor. Tingkat kematian dari ikan jelawat dalam keramba
rata-rata juga 10 persen.
Ikan jelawat tersebut dipelihara selama setahun. Setiap ekor
memiliki berat 1 kilogram. Saat dipanen ikan dijual Rp 45.000 per kg. Panen
ikan dari 10 keramba dilakukan serentak sehingga pendapatan yang diperoleh Agus
Salim sekitar Rp 450 juta. ”Saya tidak repot mencari pasar. Rumah makan dan
pedagang datang sendiri ke tempat budidaya,” ujar Agus.
Namun, kelemahan Agus Salim adalah belum bisa mengatur usaha
budidaya yang berkesinambungan. Jika dari 10 keramba itu dilakukan penebaran
benih secara bertahap dalam setiap dua bulan untuk dua keramba, pemanenan pun
dapat dilakukan sebanyak lima
kali per tahun. Artinya, dalam sekali panen diperoleh pendapatan sekitar Rp 90
juta. ”Memang, kalau dilakukan pengaturan pola penaburan benih ikan jelawat,
saya bisa panen dua unit keramba setiap kali. Namun, saya belum pernah mencoba
melakukannya,” ujar Agus Salim.
Pasar tanpa batas
Membudidayakan ikan dalam keramba jaring apung juga menjadi
pilihan Hendry (31). Warga Palembang itu membudidayakan ikan nila, ikan patin,
dan ikan baung di 32 keramba di daerah Gandus, Kota Palembang. Setiap keramba
ukuran 4 meter x 4 meter itu ditebarkan benih rata-rata 2.000 ekor.
Awalnya dia mengira membudidayakan dalam keramba akan
membuat ikan mati. Namun, faktanya bertolak belakang. Sungai Musi yang berarus
menghasilkan oksigen sehingga ikan bisa hidup dan membesar dalam keramba.
Namun, tingkat kematian ikan di wilayah Gandus sekitar 30 persen karena di
wilayah itu banyak penambangan pasir yang mematikan ikan. Ada pula perilaku operator perahu yang
seenaknya membuang oli di sungai.
Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Sumsel Sri Dewi Titisari
mengakui, usaha budidaya ikan di Sungai Musi belum berkembang optimal karena
baru 10-15 persen wilayah Musi yang dimanfaatkan. Produksi ikan patin dari Musi
mencapai 47.264,5 ton per tahun dan ikan nila 48.991,1 ton per tahun. ”Kendala
serius yang kami hadapi adalah ketiadaan petugas penyuluh lapangan,” ujar Sri
Dewi. (Helena F Nababan dan Jannes Eudes Wawa)
SUMBER KLIPPING: Kompas
FOTO: blogsafetyridinghondabengkulu
******************************************
(FREE) Silahkan download langsung
Direktori Penjual - Pembeli Agrobisnis Indonesia
Pertanian, Peternakan, Perikanan, Perkebunan, dll.
http://groups.yahoo.com/group/agromania/files/
SMS info: 0 8 1 1 1 8 5 9 2 9
******************************************
BURSA
JUAL BELI: http://bit.ly/abVYqh