Potensi Memproduksi Susu Segar
Modal utama beternak sapi perah adalah ketersediaan rumput
atau hijauan lainnya sebagai pakan. Seekor induk sapi perah, tiap harinya
memerlukan 50 kg. hijauan. Kalau harus membeli, maka harga hijauan di lokasi
sudah mencapai Rp 50,- per kg. Untuk
membayar 50 kg. hijauan tersebut diperlukan Rp 2.500,- ditambah ongkos angkut
Rp 50,- per kg, maka nilai hijauan tersebut ketika berada di kandang sudah Rp
5.000,- Masih ditambah pula pakan tambahan berupa konsentrat yang harga per kg.
nya sudah mencapai Rp 2.500,- sampai Rp 3.000,- Harga susu di tingkat peternak,
saat ini berkisar antara Rp 1.250,- sampai dengan Rp 1.350,- per liter. Hasil
susu segar dari seekor induk berkisar antara 8 sampai dengan 15 liter per hari.
Hingga pendapatan kotor peternak dari satu induk sapi perah antara Rp 10.000,-
sampai dengan Rp 20.250,- per hari. Kisaran harga susu rata-rata per kg. adalah
Rp 1.300,- per liter. Sementara hasil rata-rata per induk per hari adalah 12
liter. Hingga rata-rata pendapatan kotor peternak per hari dari 1 ekor induk
sapi perah adalah Rp 15.600,- Biaya rata-rata yang dikeluarkan peternak per
hari dari seekor induk sekitar Rp 10.000,- Jadi, agroindustri susu segar, baru
layak diusahakan apabila tingkat produksi susu di atas 8 liter per induk per
hari. Kalau kurang dari itu peternak akan rugi. Demikian pula halnya dengan
harga susu segarnya. Para peternak baru akan
untung kalau harga per liter susu segar di atas Rp 1.200,-
Selain dengan patokan tingkat produktifitas tersebut,
seorang peternak sapi perah juga harus berhitung dengan cermat agar sapi yang
tidak sedang laktasi (tidak sedang menghasilkan susu) jumlahnya lebih sedikit
jika dibanding dengan yang sedang diperah. Hingga sapi-sapi yang sedang diperah
tersebut dapat membiayai pakan serta perawatan bagi sapi-sapi yang sedang tidak
produktif. Rasionya, kalau kita memiliki sapi perah yang sedang laktasi 2 ekor,
maka bisa dibiayai sapi yang sedang tidak laktasi 1 ekor.
Semakin besar rasionya, misalnya 3 ekor membiayai 1 ekor
akan semakin baik. Jangan sampai terjadi 2 ekor sapi laktasi harus menghidupi 2
ekor sapi yang tidak sedang laktasi. Atau yang lebih parah lagi apabila satu
ekor sapi yang sedang laktasi, harus membiayai 2 ekor sapi yang sedang tidak
laktasi. Untuk dapat mengatur rasio ini, pemeliharaan sapi perah harus dimulai
secara bertahap. Misalnya, kalau kita ingin memelihara sampai 10 ekor induk,
maka dimulai dulu dengan memelihara 2 ekor. Menjelang selesai masa laktasi
(sekitar 10 bulan), kita membeli induk bunting sebanyak 4 ekor. Begitu yang 4
ekor ini menjelang selesai laktasi, kita membeli lagi 4 ekor. Hingga ketika ada
4 ekor sapi tidak produktif, kita telah punya 4 ekor sapi baru yang produktif,
ditambah dengan 2 ekor sapi lama yang kembali produktif lagi (masa bunting
sekitar 280 hari). Apabila yang 6 ekor ini menjelang selesai laktasi, kita
sudah bisa investasi tambahan induk, dari hasil penjualan anak sapi jantan
maupun betinanya. Hingga secara rasio, jumlah induk produktif selalu lebih
banyak dibanding yang tidak produktif.
Harga induk sapi perah lokal bunting 4 bulan, sekitar Rp
5.000.000,- sampai dengan Rp 6.000.000,-
Atau dengan harga kiloan hidup Rp 10.500,- per kg. Hingga induk seberat
500 kg, harganya Rp 10.500,- X 500 = Rp 5.250.000,- Harga induk impor (juga
bunting 4 bulan) saat ini sekitar US $ 1.000. Dengan kurs Rp 9.000,- maka
harganya Rp 9.000.000,- Kadang-kadang harga induk impor ini juga dinilai dengan
cara kiloan. Per kilo hidup nilainya Rp 17.000,- Hingga apabila induk tersebut
bobot hidupnya 500 kg, maka harganya Rp 17.000,- X 500 = Rp 8.500.000,- Tingkat produktifitas induk impor, bisa
mencapai 15 sampai dengan 20 liter susu segar per hari. Namun tingkat kerumitan
perawatan dan juga biayanya lebih tinggi dari sapi lokal. Hingga para peternak
biasanya lebih suka memilih induk lokal daripada yang impor. Kecuali
peternak-peternak besar yang secara teknis maupun biaya bisa menangani induk
impor ini sesuai dengan standarnya. Berarti, kalau kita ingin memelihara
sekaligus 10 induk sapi perah, maka investasi bibit sudah mencapai Rp
50.000.000,- berupa sapi lokal; dan 90.000.000,- kalai induknya impor. Untuk keperluran 10 ekor induk tersebut,
diperlukan hijauan per hari sebanyak 500 kg. Tiap hektar lahan berpengairan
teknis, dalam kurun waktu 60 hari akan menghasilkan hijauan sebanyak 20 ton.
Atau per hari 20.000 kg. : 60 = 333 kg. Hijauan dengan volume ini, akan dapat
memenuhi keperluan pakan bagi 6,5 ekor sapi dewasa. Hingga untuk mencukupi
hijauan bagi 10 ekor induk sapi tersebut, diperlukan minimal 1,5 hektar lahan
yang akan ditanami hijauan. Tetapi dalam waktu singkat, induk tersebut akan
beranak dan anaknya juga memerlukan pakan. Maka untuk memelihara 10 ekor induk
sapi perah, paling aman kita siapkan hijauan seluas 2 sampai 3 hektar.
Sebagian besar produkdi susu segar kita, diserap oleh
industri susu kalengan. Baik berupa susu bubuk maupun susu kental manis. Hanya
sebagian kecil produk susu segar kita yang diolah menjadi keju, mentega dan
yoghurt. Sebagian lagi akan masuk ke industri minuman kotak, cokelat batangan,
industri kue dll. Namun di sentra penghasil susu segar yang berdekatan dengan
kota-kota besar, potensi pemasaran dalam bentuk segar juga cukup baik.
Misalnya, dulu kawasan Karet Kuningan di Jakarta adalah sentra peternakan sapi
perah yang sebagian besar hasilnya dipasarkan segar. Dengan perkembangan kota, maka sentra
peternakan sapi perah ini bergeser ke kawasan Pondok Gede, Bekasi. Demikian
pula kawasan penghasil susu di Lembang (Bandung),
Kaliurang (Yogya), Boyolali (Surakarta), Batu (Malang) serta Tretes (Surabaya) yang sampai saat ini tetap bisa
mengandalkan pasar susu segar. Bedanya, kalau dulu masyarakat lebih banyak
berlangganan susu segar botolan untuk diminum oleh keluarga, maka sekarang
konsumen susu segar adalah warung kakilima, pedagang keliling atau restoran.
Merekalah yang telah menyerap susu segar peternak dan konsumen mengkonsumsinya
secara individual langsung di tempat. Pertumbuhan konsumen susu segar ini
antara lain juga disebabkan oleh tumbuhnya Bandung,
Yogya, Surakarta, Malang
dan Surabaya sebagai kota pelajar/mahasiswa. Munculnya warung
kakilima yang menjual susu segar memang dipelopori oleh Bandung dan Yogya. Baru kemudian diikuti oleh
kota-kota lain di Jawa maupun di luar Jawa.
Hasil peternakan sapi perah, sebenarnya bukan hanya melulu
susu melainkan juga anaknya.
Kalau anaknya betina, biasanya para peternak akan
memeliharanya sendiri guna dijadikan calon induk betina. Namun apabila anaknya
jantan, para peternak akan menjualnya sebagai pedaging. Daging anak sapi perah
disebut feal dan punya pasar khusus di restoran-restoran maupun hotel. Harga
anak sapi perah jantan ini biasanya mengikuti harga kiloan hidup, yakni Rp
10.500,- per kg. Baik yang impor maupun yang lokal. Jadi seekor anak sapi perah jantan seberat 100 kg,
nilainya Rp 1.050.000,- Tetapi rata-rata peternak sudah menjual anak sapi
jantannya dengan berat 70 kg. dengan harga Rp 735.000,- per ekor. Sebenarnya
hasil sampingan peternakan sapi perah masih ada, yakni berupa pupuk kandang. Namun
di sentra-sentra peternakan di Pangalengan, Boyolali dan Pujon, para peternak
lebih banyak yang mengguyur kandangnya hingga kotoran larut dan dibuang
langsung ke perairan umum. Selain mencemari sungai, sebenarnya tindakan ini
juga sangat disayangkan sebab kotoran sapi perah tersebut masih memiliki nilai
ekonomis. Sebenarnya GKSI (Gabungan Koperasi Susu Indonesia) bisa investasi
mobil tangki sedot, sementara para
peternaknya diminta untuk investasi bak tampungan. Caranya, masing-masing
peternak boleh mengguyur kandangnya, tetapi komunitas peternak tersebut wajib
membangun saluran kotoran yang akan bermuara di sebuah bak yang lokasinya
berada di pinggir jalan. Dan tiap hari mobil sedot akan mengambil kotoran
tersebut untuk dibuang ke sentra pertanian sayuran atau palawija.
Meskipun peternakan sapi perah bisa dikembangkan mulai dari
dataran rendah (ketinggian 0 m. dpl), misalnya yang telah sejak lama dilakukan
di Karet Kuningan, Jakarta,
namun idealnya, lokasi peternakan sapi perah berlokasi di dataran tinggi.
Pujon, Boyolali dan Pangalengan adalah dataran tinggi dengan elevasi antara 700
sd. 1500 m. dpl. Semakin tinggi lokasi peternakan, semakin baik kualitas susu
yang dihasilkannya. Selain itu tingkat produktifitasnya juga akan semakin
tinggi. Sebab pada hakikatnya sapi perah merupakan sapi yang berasal dari
kawasan sub tropis. Meskipun disebut sebagai induk lokal, sebenarnya sapi perah
kita juga merupakan sapi peranakan jenis Fries – Hollands dan Holstein Friesian. Ciri khas
dari jenis sapi perah ini adalah warna bulunya yang berbelang hitam putih. Pada
Fries – Holland
warna hitamnya lebih dominan, sementara pada Holstein Friesian warna putihnya
yang dominan. Selain dua jenis sapi perah itu masih dikenal pula Biaarkop
Groninggs yang berbulu hitam, Red Fries yang berbelang merah (cokelat) putih,
serta Maas – Rijn – Yssel yang berbulu putih dengan totol-totol cokelat.
Sapi-sapi perah Eropa itu telah banyak dimuliakan di AS dan juga Australia
hingga menghasilkan jenis-jenis baru yang lebih unggul. Semua sapi peliharaan
Eropa, baik pedaging maupun perahnya, merupakan domestifikasi dari banteng
Eropa Bos Taurus. Sementara sapi-sapi India merupakan domestifikasi dari
banteng Asia Bos Indicus. Sapi Bali kita adalah domestifikasi dari benteng Jawa
Bos Indicus.
Dibanding dengan peternakan sapi potong (sapi pedaging)
peternakan sapi perah memiliki beberapa keunggulan. Pertama, pendapatan dari
usaha ini bisa diperoleh setiap hari. Hingga sangat menolong cash flow usaha.
Kedua, pendapatan dari susu relatif stabil sebab harganya akan berpatokan pada US $. Penurunan
US
$ ajhir-akhir ini, tentu akan berdampak pula pada penurunan harga susu segar.
Namun, nilai induk (terutama yang impor) juga akan mengalami penurunan.
Demikian pula halnya dengan pakan, terutama konsentratnya. Hijauan pun, apabila
berupa batang jagung muda akan mengalami penurunan pula sehubungan dengan
turunnya US
$. Meskipun penurunannya pasti tidak sebanyak konsentrat. Keuntungan kedua,
secara tidak langsung, peternakan sapi perah sebenarnya juga berkontribusi
terhadap kekurangan daging sapi yang makin kronis di negeri ini. Sebab dari 100
ekor induk betina yang dipelihara, akan dihasilkan minimal 100 anak pula. Dari
100 anak itu, 50 ekor berkelamin jantan hingga bisa berkontribusi sebagai sapi
potong. Kebutuhan pejantan bagi peternakan sapi perah, biasanya dicukupi dengan
kawin suntik (inseminasi buatan). Untuk keperluan ini, semen beku (sperma)
diimpor dari Australia
atau Eropa. Hasil anak yang diperoleh dari kawin suntik ini lambat laun akan
dapat memperbaiki kualitas sapi perah kita. Hingga sekarang jarang sekali
peternak sapi perah yang memelihara pejantan sendiri, kecuali para peternak
besar. Sebab memelihara sapi jantan sangat tidak praktis. Biaya perawatannya,
terutama pakannya cukup besar, sementara kemampuannya mengawini sangat sedikit.
Hasilnya pun akan kalah baik apabila peternak menggunakan sistem kawin suntik
dengan induk pejantan unggul dari Eropa maupun Australia.
SUMBER KLIPPING: Foragri
FOTO: hamamsite.blogspot.com