Petaka Birahi Ikan Tuna

Kesulitan itulah yang dihadapi Balai Riset Perikanan
Budidaya Laut pada Kementerian Kelautan dan Perikanan di Pantai Gondol,
Buleleng, Bali.
Sejak 2003, para periset di balai tersebut mengadakan riset
pembenihan ikan tuna sirip kuning (Thunnus albacares).
”Pembenihan ikan tuna sangat penting karena eksploitasinya
berlebihan. Ini terlihat dari bobot tangkapan ikan tuna yang semakin merosot,”
kata Kepala Balai Besar Riset Perikanan Budidaya Laut I Nyoman Adiasmara Giri.
Giri ketika itu menerima kunjungan sejumlah wartawan yang
sedang meliput rangkaian konferensi Asosiasi Biologi Tropika dan Konservasi
(ATBC) di Bali, 20-23 Juli 2010. Giri
menunjukkan salah satu kegiatan riset pembenihan ikan tuna.
Sebanyak 30 ikan tuna dengan bobot sampai 70 kilogram dan
berusia sekitar tiga tahun ditampung di bak beton berbentuk silinder.
Volume bak air laut itu sekitar 1.500 meter kubik,
berdiameter 12 meter dengan kedalaman 8 meter.
Bangunan itu hibah dari Jepang dalam program Overseas
Fishery Cooperation Foundation (OFCF) 2001-2005. Menurut peneliti senior Balai
Besar Riset Perikanan Budidaya Laut, Gede Suwarthama Sumiarsa, Jepang memulai
riset budidaya ikan tuna sejak 40 tahun lalu.
”Jepang sudah berhasil membudidayakan sampai generasi ikan
tuna memperoleh cucu. Namun, Jepang tetap menutup rahasia keberhasilan
budidayanya kepada kami,” kata Gede.
Kesulitan mengatasi matinya ikan-ikan tuna akibat menabrak
dinding bak masih dilengkapi dengan kegagalan membesarkan larva ikan tuna.
45 hari
Membesarkan larva ikan tuna merupakan kesulitan tersendiri. Para periset baru bisa mempertahankan hidup anak ikan
tuna tersebut maksimal hanya sampai 45 hari.
”Kami memproyeksikan pada 4-5 tahun ke depan berhasil
mengatasi masalah ini,” kata Giri.
Sesuai siklus musim kawin, menurut Giri, semestinya sekitar
Agustus menjadi musim kawin ikan tuna. Para
periset akan terus mengawasi melalui kaca transparan di salah satu sisi dinding
bak tersebut.
”Jika pemijahan terjadi, telur-telur akan mengapung. Dalam
waktu sekitar 18 jam akan segera menetas,” kata Giri.
Telur-telur ikan tuna yang mengapung segera ditampung ke
dalam bak terpisah berukuran 200 liter. Bak itu dilengkapi dengan peralatan
aerasi dan dijaga temperatur alaminya 27 sampai 28 derajat celsius.
”Selama ini penyebab kematiannya akibat serangan virus Viral
Nervous Necrosis (VNN),” kata Giri.
Gejala umum akibat serangan virus tersebut adalah kehilangan
nafsu makan. Virus VNN juga paling banyak menyerang benih ikan kerapu.
Kemampuan menangani benih ikan tuna berbeda dengan ikan
kerapu. Ini ditunjukkan dengan keberhasilan balai riset di Bali
utara itu hingga kini sudah berhasil membenihkan ikan kerapu sunu (Plectropomus
leopardus) untuk dibudidayakan secara komersial.
Pada 2009, benih kerapu sunu atau kerapu bebek berhasil
diekspor hingga mencapai 3.200 ekor, sedangkan untuk domestik mencapai 4.200
ekor.
Tidak hanya kerapu, keberhasilan pembenihan ternyata juga
pada banyak komoditas lain, meliputi kerang abalone (Haliotis squamata), tiram
mutiara (Pinctada maxima), kakap merah (Lutjanus sebae), ikan golden trevally
(Gnathanodons specious Forsskall), kepiting bakau (Scyila paramamosain),
rajungan (Portunus pelagicus), capungan banggai (Pterapogon kauderni), dan juga
ikan hias nemo atau clown fish (Amphiprion ocellaris).
Sekarang, keberhasilan pembenihan ikan tuna masih ditunggu.
Tentu pula keberhasilan menanggulangi petaka birahi bagi ikan-ikan tuna supaya
tidak lagi celaka menabrak dinding bak.
SUMBER KLIPPING: Kompas
FOTO: factsandhealth.blogspot.com
******************************************
(FREE) Silahkan download langsung
Direktori Penjual - Pembeli Agrobisnis Indonesia
Pertanian, Peternakan, Perikanan, Perkebunan, dll.
http://groups.yahoo.com/group/agromania/files/
SMS info: 0 8 1 1 1 8 5 9 2 9
******************************************
BURSA
JUAL BELI: http://bit.ly/abVYqh