Legenda Buah Maja yang Pahit
Menurut legenda, nama kerajaan Majapahit (1293 – 1527) berasal
dari buah maja, yang rasanya pahit. Padahal, yang diketahui oleh masyarakat
luas, rasa buah maja memang pahit, hingga tidak pernah ada yang mau memakannya.
Apakah memang benar ada buah maja manis, dan ada yang pahit?
Selama ini, yang dikenal sebagai buah maja, adalah sosok
tanaman perdu, dengan buah sebesar bola volley, berwarna hijau, dengan kulit
(tempurung) sangat keras. Daging
buah ini memang tidak enak dimakan, dan hanya digunakan sebagai bahan herbal.
Yang dimanfaatkan justru tempurungnya, yang berukuran dua kali tempurung
kelapa, dengan tingkat kekerasan dan kekuatan yang juga tinggi. Tempurung buah
maja digunakan untuk bahan perkakas rumah tangga. Mulai dari gayung air,
takaran beras, serta tempat menyimpan aneka biji-bijian.
Selama ini, yang
dikenal masyarakat luas sebagai buah maja adalah berenuk, brenuk, atau bernuk
(calabash tree, huingo, krabasi, kalebas). Ada tiga spesies bernuk, yakni Crescentia
cujete, Crescentia alata, dan Crescentia portoricensis. Semuanya merupakan
tanaman asli Amerika Tropis. Masuk ke Indonesia karena dibawa oleh bangsa
Portugis dan Belanda. Yang banyak tumbuh di Indonesia dan dikenal sebagai buah
“maja” alias bernuk adalah Crescentia cujete. Karena bernuk baru ada di Jawa
setelah kedatangan Belanda, tidak mungkin tumbuhan ini yang disebut sebagai
“maja pahit”.
Bernuk Crescentia alata, berbentuk sama dengan Crescentia
cujete, hanya ukuran buahnya agak lebih kecil. Yang buahnya berbeda adalah
bernuk Crescentia portoricensis. Bentuk buahnya memanjang seperti labu air,
dengan warna hijau tua. Bernuk sering dijumpai tumbuh liar di halaman rumah
atau kebun, juga sebagai tanaman peneduh jalan, atau di taman perkotaan. Bentuk
tanaman, tajuk serta buah bernuk, memang bisa menjadi elemen taman yang cukup
menarik. Terutama apabila tanaman ini sedang berbuah sangat lebat. Bentuk
buahnya yang bulat, warnanya yang hijau serta ukurannya yang besar, merupakan
daya tarik tersendiri.
Buah maja asli yang ada di Indonesiaa adalah Bael (Aegle
marmelos). Habitat asli tanaman ini tersebar mulai dari Pakistan, India,
tenggara Nepal, Sri Lanka, Bangladesh, Myanmar, Thailand, Laos, Vietnam,
Kambodja, Malaysia, Filipina dan Indonesia. Selain Bael, maja asli ini juga
disebut Bilva, Bilwa, Bel, Kuvalam, Koovalam, Madtoum, buah Beli Fruit, Bengal
quince, stone apple, atau wood apple. Di
Jawa, tanaman maja tumbuh di dataran rendah, terutama di kawasan yang beriklim
sangat kering. Kawasan sekitar Mojokerto (lokasi bekas kerajaan Majapahit), memang habitat tanaman maja.
Beda dengan tanaman bernuk yang percabangannya mengarah ke
samping, maka tajuk maja tumbuh menjulang ke atas. Pohon maja bisa tumbuh
sampai 20 m. Kayu maja sangat keras. Tajuknya mirip dengan tanaman kawista
(Limonia swingle), dan asam keranji (Dialium indum), hanya daun maja agak
sedikit lebih lebar. Koleksi tanaman maja Aegle marmelos, ada di Kebun Raya
Purwodadi, Jawa Timur, di sebelah kiri jalan raya Surabaya Malang. Bunga maja
sangat harum. Hingga ketika tanaman ini berbunga, aroma wanginya bisa tercium
dari jarak yang cukup jauh.
Buah maja Aegle marmelos, berbentuk bulat agak lonjong,
dengan tonjolan di bagian pangkalnya, kulit halus, berwarna cokelat gelap.
Diameter buah antara 5 sd. 12 cm. Sepintas, buah maja tampak mirip dengan
kawista. Bedanya, buah kawista berbentuk bulat sempurna, bagian pangkalnya
tidak menonjol, kulit buahnya kasar, dan warnanya abu-abu. Dua tanaman ini
memang masih sama-sama famili Rutaceae. Buah maja maupun kawista juga
bertempurung sangat keras. Tekstur buah serta bijinya maja juga mirip kawista. Di Pakistan, India,
Srilanka, Nepal dan Bngladesh, maja merupakan
buah yang cukup penting.
Di negara-negara tadi, daging buah maja biasa dikonsumsi
sebagai sharbat. Ini adalah minuman tradisional, terdiri dari daging buah yang
dihancurkan, dicampur dengan air, gula (atau sirup) dan es. Pucuk maja juga
merupakan sayuran yang populer. Dalam ilmu pengobatan tradisional India
(ayurvedic), maja dipercaya bisa mengobati gangguan pencernaan, dan demam.
Dalam tradisi Hindu, maja merupakan tumbuhan “titisan” Hyang Syiwa. Hingga
tanaman maja selalu ada di halaman pura Hindu. Selain pucuknya untuk sayuran,
daun maja juga merupakan perangkat ritual hindu yang cukup penting.
Di Nepal, buah maja merupakan perangkat perkawinan yang
cukup penting. Karena buah maja dianggap sebagai penjelmaan Hyang Syiwa, maka
sang gadis sebenarnya menikah dengan Hyang Syiwa, bukan dengan suaminya. Ritual
ini bertujuan untuk memperoleh kesuburan (keturunan) dari Hyang Syiwa. Selain
itu, apabila sang suami meninggal, perempuan itu tidak perlu malu berstatus
janda, sebab ia tetap menjadi istri Hyang Syiwa. Maja merupakan tanaman yang
cukup penting dalam tradisi Hindu. Beda dengan kawista yang merupakan tumbuhan
pendatang dari India,
maja juga tanaman asli di Jawa.
Dari kesakralan buah buah maja inilah nama Majapahit
berasal. Seperti biasa, dalam tradisi Hindu di Jawa banyak tokoh yang
menggunakan nama binatang: Gajah Mada, Hayam Wuruk, Mahesa Wong Ateleng, dan
lain-lain. Hingga kesakralan buah maja pun diadopsi menjadi nama kerajaan, yang
mampu bertahan lebih dari dua abad.
Legenda bahwa anak buah Raden Wijaya, ketika membuka Tanah Tarik,
kehausan, lalu makan buah maja yang rasanya pahit, hanyalah cerita yang
dikarang, belakangan ini. Sebab pahit (pait), dalam kosakata Jawa, juga berarti
modal. Hingga kemungkinan besar, nama Majapahit, berarti: Bermodalkan
kesakralan buah maja.
Genus Aegle, terdiri dari enam spesies: Aegle barteri, Aegle correa, Aegle decandra,
Aegle glutinosa, Aegle marmelos, dan Aegle sepiaria. Dari enam spesies ini,
yang merupakan tanaman penting hanya
Aegle marmelos. Pemerintah, terutama pemerintah provinsi Jawa Timur,
terlebih lagi Kab. Mojokerto, mestinya memperhatikan nasib tanaman ini.
Idealnya, maja menjadi tanaman yang bisa dijumpai di sepanjang jalan, di
sekitar situs Majapahit. Tanaman maja bukan hanya punya nilai historis tinggi
bagi Indonesia,
tetapi juga bisa menjadi komoditas buah yang menarik. Sama halnya dengan
kawista yang sudah menjadi buah khas Kab. Rembang, Jawa Tengah.
SUMBER KLIPPING: Foragri
SUMBER FOTO: kerajinannusantara.com