Peluang Budidaya Petai
Di sebuah pasar swalayan di Negeri Belanda, para perantau
bisa menemukan petai dalam kaleng. Petai itu bukan berasal dari Indonesia, negeri bekas jajahan mereka,
melainkan dari Thailand,
negeri yang tidak pernah dijajah.
Kadang-kadang di Belanda bisa pula dijumpai petai segar
kupas dalam wadah stereofoam, atau petai yang masih utuh belum dikupas, yang
harganya lebih tinggi dibanding petai dalam kaleng. Para
penikmat petai fanatik, tetap akan membeli petai segar ini, berapa pun
harganya. Sebab kenikmatan petai dalam kaleng, tentu tidak sebaik petai segar
yang masih utuh. Peluang pasar inilah yang dengan jeli ditangkap oleh para
petani Thailand.
Selain petai, mereka juga mengalengkan nangka muda, rebung, pucuk katuk, dan
bunga turi.
Pasar petai tidak hanya sebatas Negeri Belanda. Pasar petai
terbesar justru di Timur Tengah, Hongkong, dan Taiwan. Sebab di tiga kawasan
inilah paling banyak terdapat perantau dari Indonesia, dan petai tidak dapat
dibudidayakan di negeri tersebut. Beda dengan di Malaysia. Di sini juga terdapat
banyak tenaga kerja Indonesia,
tetapi petai juga bisa dibudidayakan di negeri ini. Petai yang dipasarkan dalam
bentuk kalengan (caning), segar kupasan dalam stereofoam, maupun utuh (papan),
tingkat ketuaannya harus seragam, dan tidak berulat di dalamnya.
Standar persyaratan mutu ini menjadi sangat penting. Sebab
di Taiwan misalnya, persyaratan bagi buah dan sayuran yang akan masuk ke sana sangat ketat.
Konsumen pun tidak menghendaki biji petai yang terlalu muda, terlalu tua, dan
ada ulat di dalamnya. Persyaratan ini harus dipenuhi melalui standar budidaya,
dan panen. Bukan standar pasca panen, dan pengemasan. Di Thailand, petai sudah
dibudidayakan secara monokultur, berupa “kebun petai”, dengan klon (kultivar)
yang seragam. Di Indonesia, belum ada kebun petai skala komersial yang dikelola
secara profesional.
Petai (Parkia speciosa), disebut pula twisted cluster bean,
stink bean, peteh, yongchaak, sataw, atau sator. Habitat asli petai, tersebar
dari India Timur Laut, Bangladesh, Myanmar, Thailand, Kamboja, Vietnam,
Malaysia dan Indonesia. Petai tumbuh mulai dari dataran rendah (0 m. dpl)
sampai dengan 800 m. dpl. Tanaman petai tumbuh berupa pohon berkayu, dengan
tajuk sangat terbuka, berketinggian sampai dengan 30 m. Karena keterbukaan
tajuknya, petai cocok dibudidayakan secara tumpang sari, dengan tanaman
semusim.
Hingga dalam budidaya petai secara monokultur pun, lahan di
bawah tegakan tanaman utama, masih tetap bisa diberi tanaman semusim, tanpa
menurunkan tingkat produktivitasnya terlalu jauh. Hampir semua tanaman semusim
bisa dibudidayakan di bawah tegakan petai. Namun tanaman kacang tanah, keladi
dan empon-empon, merupakan alternatif terbaik. Jagung kurang menguntungkan,
karena Produktivitasnya akan sangat rendah, sementara singkong justru akan
menurunkan produktivitas petai. Kacang tanah cukup baik, karena akan
meningkatkan kesuburan lahan, dengan nitrogen yang ditangkapnya langsung dari
udara.
Benih petai okulasi dengan batang atas klon unggul, sudah
banyak diproduksi oleh penangkar. Terutama di Jawa Tengah dan Lampung.
Idealnya, benih yang akan ditanam di lapangan sudah berukuran 1,5 m. Harga
benih ukuran ini, berkisar antara Rp 50.000,- sd. Rp 100.000,-. Pada pembelian
dalam jumlah banyak, harga bisa sedikit lebih rendah. Kalau mau agak ringan,
bisa membeli benih ukuran di bawah 50 cm, dengan harga Rp 10.000,- sd. Rp
20.000,- disemai dengan perawatan intensif, sampai mencapai ketinggian 1,5 m.
Ketika itulah benih dipindah ke lapangan, pada awal musim penghujan.
Benih okulasi setinggi 1,5 m, sudah akan berbuah antara 3
sd. 4 tahun setelah tanam. Tanaman petai akan terus produktif selama 20 sd. 25
tahun, dan harus diremajakan. Tanaman yang sudah terlalu tua, produktivitasnya
akan menurun, dan pemanenan buahnya lebih sulit. Di Thailand, tanaman petai
sengaja terus dipangkas, hingga hanya mencapai ketinggian antara 4 sd. 6 m,
untuk memudahkan perawatan, terutama pembungkusan dan pemanenan. Pembungkusan
buah, mutlak harus dilakukan untuk mencegah serangan ulat dalam biji. Terutama
apabila hasilnya akan diekspor.
Buah petai berupa tumbuh dalam malai, terdiri dari 4 sd. 8
papan. Dalam satu papan ada belasan biji. Petai adalah komoditas yang beraroma
sangat tajam. Sampai-sampai urine mereka yang mengonsumsi petai, juga beraroma
sangat tajam khas petai. Karena aromanya yang sangat tajam inilah, petai juga
menjadi komoditas yang kontroversial, seperti halnya durian. Di satu pihak ada
konsumen yang sangat fanatik menyukai petai, dan di lain pihak ada masyarakat
yang sangat tidak menyukai aromanya. Namun petai masih lebih baik dibanding
durian, karena tidak menyebarkan aroma dalam ketika belum dikonsumsi.
Biji petai bisa dikonsumsi segar, rebus, bakar, atau goreng,
untuk lalap makan nasi terutama dengan lauk ayam, dan ikan goreng. Selain itu,
petai juga merupakan bahan campuran dalam berbagai masakan. Baik berupa sayur,
maupun lauk. Dewasa ini juga mulai populer nasi goreng petai. Konsumsi petai
dalam volume berlebihan, terlebih dengan sambal yang juga dalam volume besar,
bisa menimbulkan sakit perut dan diare. Dalam masakan sunda, dengan lalap petai
dan sambal, selalu disertai pula dengan lalap yang berasa sepet (mengandung
tanin). Gunanya, untuk mencegah gangguan sakit perut.
Petai dipasarkan berupa papan, baik dalam ikatan, maupun
satuan. Komoditas ini hampir tidak pernah dijual dalam satuan bobot kilo atau
ons. Di pasar swalayan besar, sekarang juga sudah digerai petai dalam kemasan
stereofoam. Meskipun harganya relatif tinggi, petai dalam kemasan stereofoam
lebih terjamin kualitasnya, sebab sudah melalui seleksi. Namun bagi para
pelahap petai fanatik, makan petai haruslah berupa papan secara langsung.
Pelahap petai super fanatik, malahan mensyaratkan petai segar (mentah), sebab
konon tingkat kelezatan komoditas ini akan menurun ketika dipanaskan.
SUMBER KLIPPING: Foragri
FOTO: terselubung.blogspot