Pembibitan Gurame di Lahan Tandus
Lahan di Bukit Menoreh itu gersang dan berkapur. Air sulit
didapat. Jangankan berbudidaya ikan, pohon kelapa pun dulu tidak berbuah. Akan
tetapi, dari bukit tandus di Dukuh Dengok, Desa Tanjungharjo, 20 kilometer ke
arah barat dari Yogyakarta, itu setiap bulannya mengalir 60.000 ekor benih ikan
gurame ke segala penjuru.
Benih-benih ikan gurame dari bukit tandus itu menyebar ke
wilayah Purworejo, Yogyakarta, Sleman, Bantul, hingga ke wilayah di luar
Yogyakarta, seperti ke Cilacap dan Tasikmalaya (Jawa Barat).
Berkat benih gurame itu pula, warga Dukuh Dengok yang selama
puluhan tahun kesulitan mendapatkan penghasilan, kini memiliki pendapatan
tetap. Ekonomi pedesaan pun berputar karena mereka kini memiliki cukup uang
untuk berbelanja kebutuhan hidup.
Perekonomian Dukuh Dengok pun semakin bergairah. Kepala
Bidang Perikanan dan Budidaya Kabupaten Kulonprogo Prabowo Sugondo
mengungkapkan, dengan memiliki kolam pembenihan seluas 4 meter x 8 meter saja
warga akan memiliki tambahan penghasilan Rp 600.000 per musim panen.
Yang menarik dari sistem pembenihan yang dibangun warga
Dukuh Dengok ini, benih ikan yang mereka budidayakan laku terjual pada setiap
tingkatan atau ukuran. Mulai dari ukuran kuku, jempol, silet, hingga ukuran
empat jari sehingga perputaran uang berlangsung cepat, karena petani tidak
harus menunggu panen lama hingga ikan berukuran konsumsi.
Prabowo menjelaskan bahwa selalu ada peluang dalam setiap
kesempatan dalam menumbuhkan ekonomi pedesaan, asalkan dilakukan dengan serius
dan ada kerja sama yang dilakukan sungguh-sungguh antara pemerintah dan
masyarakat.
Seperti yang ada di Dukuh Dengok ini. Pada awalnya warga di sana berniat budidaya
lele. Mengingat permintaan lele sekarang ini terus bertumbuh, sehingga ada
jaminan pasar. Sebagai ilustrasi, setiap hari di Provinsi Yogyakarta
saja memerlukan lele sebanyak 15 ton.
Lahan terbatas
Meski ada peluang untuk budidaya lele, keterbatasan
kepemilikan lahan di Dukuh Dengok ternyata menjadi kendala utama. Ketua Lembaga
Pemerintahan Masyarakat Desa Tanjungharjo Pujo mengungkapkan, rata-rata warga
Dukuh Dengok memiliki lahan terbatas.
Hanya ada lahan pekarangan dan sedikit lahan kebun. Minimnya
lahan tidak cocok bila dimanfaatkan untuk budidaya lele karena budidaya lele
memerlukan lahan yang lebih luas dan pasokan air yang tentunya lebih banyak.
Apalagi lahan di sana
tandus dan tidak ada mata air. Air memang bisa diambil dari Selokan Kali Bawang
yang disodet dari Kali Progo. Akan tetapi, jarak ketinggian saluran air dengan
rumah warga sekitar 300 meter.
Melihat minimnya potensi sumber daya tersebut, mereka pun
memilih untuk mengembangkan budidaya gurame. Memang sama saja dengan budidaya
lele yang makan tempat, tetapi keuntungan yang didapat bisa lebih besar.
Maka, 3,5 tahun lalu, mulailah warga membudidayakan gurame.
Meski kesulitan air, mereka tak putus asa. Bahu-membahu dengan Pemerintah
Daerah Kulonprogo, warga di sana
pun membangun bak-bak penampungan air, juga membangun sumur resapan sebagai
sumber air.
”Kami harus menggunakan tiga pompa air untuk menaikkan air
dari selokan ke kolam- kolam ikan,” tutur Prabowo.
Agar menghemat penggunaan air, kolam dibangun menggunakan
terpal. Kolam terpal lebih hemat air karena tidak menimbulkan resapan, berbeda
dengan kolam lumpur.
Berhasil membudidayakan gurame, mereka pun memperluas kolam.
Makin banyak warga yang tertarik ikut membudidayakan ikan. Saat ini terdapat
8.000 meter persegi kolam ikan.
Tidak puas dengan hasil pembesaran gurame ukuran benih ke
konsumsi, warga pun mulai merintis usaha perbenihan. Benih didatangkan dari
Purwokerto dalam bentuk telur. Harga per butir telur gurame Rp 24. Selanjutnya,
telur-telur itu ditetaskan.
Hasil tetesan dipelihara hingga sebesar ukuran kuku, jempol,
silet, hingga ukuran empat jari. Semua laku dijual. Masing-masing ukuran benih
tersebut dipelihara oleh warga. Agar posisi tawar mereka tinggi, mulailah
mereka membentuk kelembagaan dengan mendirikan Kelompok Pembudidaya Ikan ”Argo
Mino”.
Atur jaringan produksi
Menurut penasihat Kelompok Pembudaya Ikan Argo Mino,
Suhardi, melalui kelompok ini warga mengatur jaringan produksi mulai dari input
dalam bentuk pencarian dan mendatangkan benih, membesarkan, mencari sumber
pakan dan mendapatkan kualitas pakan terbaik, hingga memasarkan produk. Total
anggota kelompok tersebut saat ini berjumlah 32 orang.
Menurut Prabowo, keberhasilan membangun sentra perbenihan gurame
tak lepas dari kerja sama warga dan pemerintah daerah. Berbagai bantuan pun
diberikan Pemda Kulonprogo. Pada mulanya, mulai dari bantuan terpal, material
bangunan, hingga teknis pembenihan.
Selain itu, pemda juga membantu warga mengakses sumber
pendanaan, baik dari perbankan maupun koperasi. Maklum, pada awalnya tidak ada
satu bank pun yang tertarik memberikan kredit kepada warga di sana.
Selain tidak adanya pendapatan tetap, agunan juga tidak laku
karena nilai jual obyek pajak (NJOP) lahan di sana dulu tidak lebih dari Rp 3.600 per meter
persegi. Namun, saat ini tidak ada kesulitan lagi bagi petani untuk mengakses
sumber pendanaan.
Direktur Riset dan Kajian Strategis Institut Pertanian Bogor
Arif Satria mengungkapkan, keberhasilan warga berbudidaya ikan tidak terlepas
dari kemampuan mereka beradaptasi dengan lingkungan. Kondisi lingkungan yang
sulit, mendorong warga berpikir dan bertindak kreatif.
Penguatan kelembagaan
Ekonomi pedesaan yang ditopang dari usaha budidaya ikan di
Dukuh Dengok ini akan semakin berkembang apabila ada penguatan kelembagaan,
kepemimpinan, dukungan infrastruktur yang memadai, dan manajemen usaha.
”Soal teknologi budidaya sebenarnya masyarakat sudah
menguasai. Terbukti mereka bisa menghemat air dengan memanfaatkan sisa air
kolam untuk budidaya lagi sehingga tidak boros air,” katanya.
Tinggal bagaimana menguatkan kembali jaringan sosial di
antara kelompok tani. Selain itu, dalam jangka menengah dan panjang, bagaimana
pemerintah bisa mengurangi ketergantungan petani terhadap pakan produk
perusahaan multinasional.
Selain itu, menurut Arif, kebijakan pemerintah soal stimulus
fiskal mestinya diarahkan untuk menggerakkan ekonomi rakyat di pedesaan,
seperti budidaya ikan, bukan seperti sekarang yang lebih berorientasi ke
wilayah perkotaan.
Alokasi stimulus fiskal untuk desa saat ini hanya Rp 1,05
triliun, sementara untuk kota
| Rp 9,15 triliun. Adapun tax saving mencapai Rp 43 triliun. Padahal, yang
paling merasakan dampak krisis ekonomi global adalah warga pedesaan. (Hermas E Prabowo)
SUMBER: Kompas
FOTO: guramesurakarta