Raup Untung dari Sayuran Gantung Aeroponik

Begitulah Parung Farm, Parung, JIL Kabupaten Bogor,
memproduksi bayam untuk memasok kebutuhan pasar swalayan, restoran, hotel, dan
kafe langganannya. "Bayam sangat cocok ditanam menggunakan sistem
aeroponik dibanding dengan teknologi hidroponik lain," kata Matius Aritonang,
direktur Parung Farm. Itu lantaran pemberian nutrisi lebih tepat dan teratur.
Menurut Matius tren mengkonsumsi sayuran aeroponik dan
hidroponik memang meningkat pesat dari tahun-tahun sebelumnya. Kini, hampir
semua pasar swalayan di seluruh nusantara memajang aneka sayuran hidroponik.
"Konsumen mulai mengerti hidup sehat. Mereka menginginkan sayuran dengan
kualitas tinggi, bersih, dan residu pestisida rendah," katanya. Makanya
selain sayuran aeroponik, sayuran lainnya seperti selada, romanian, dan
lolorosa hasil hidroponik NFT juga diminta pasar.
Untung tinggi
Tak heran bila setahun silam Riza H, mantan general trading
bidang otomotif di Bandung
menjadi pekebun hidroponik. Halaman yang luas di Cimanggis, Depok disulap
menjadi kebun hidroponik seluas 5.000 m2. "Lebih menguntungkan dibanding
kerja di Bandung.
Pasarnya lebih terbuka dan jelas, asal kualitas bagus," kata Riza. Di
antara puluhan talang NFT yang dialiri nutrisi itulah ia memulai menanam
kangkung, caisim, pakcoy, bayam, dan kailan.
Dengan produktivitas rata-rata 1,5- 2 kg/m2 untuk setiap
komoditi, alumnus jurusan Teknik Sipil, Universitas Parahyangan, Bandung, itu
mampu memanen rata-rata 50 kg/hari. Produksi itu jelas lebih tinggi dibanding
budidaya konvensional yang hanya menghasilkan 0,3-1 kg/m2. Dengan total
produksi 3-4 ton per bulan, ayah Btari Rahmani itu mampu meraup omzet Rp30-juta-Rp40-juta
setiap bulan.
Angin segar dari bercocok tanam aeroponik dan hidroponik
juga bertiup di Tapos Hidroponik Farm, Kabupaten Bogor. Awalnya Ir Agus M,
pengelola kebun, membangun kebun aeroponik dan hidroponik seluas 600-800 m2 di
daerah Cimande, Bogor.
Kebun yang terletak 10 km dari Ciawi itu memproduksi caisim dan kangkung 1-2
ton per bulan.
"Karena lagi tren mengkonsumsi sayuran sehat dan
higienis, permintaan ikut naik sekitar 50%," ujar Agus. Akhirnya,
greenhouse baru seluas 1.000 m2 di Kampung Tapos, Desa Cileungsi, Kecamatan
Ciawi didirikan untuk menopang produksi kebun Cimande. Komoditas aeroponik dan
hidroponik seperti bayam, kailan, dan pakcoy pun ditanam selain kangkung dan
caisim.
Permintaan tinggi
"Permintaan bayam dan komoditas hidroponik lainnya
meningkat 2 kali lipat dari tahun sebelumnya," ucap Matius. Setiap bulan
alumnus jurusan Budidaya Pertanian, Universitas Brawijaya, Malang itu memasok langganan 3- 4,5 ton
sayuran segar. Menurut Matius lonjakan permintaan hingga 90% dirasakan berasal
dari pasar swalayan, kafe, dan hotel- hotel berbintang di Jakarta, Batam, Bali,
dan Makassar.
Winz Farm, produsen sayuran hidroponik di Cugenang, Cianjur,
juga mengalami kenaikan permintaan selada keriting hingga 25% dari tahun
sebelumnya. "Seluruh sayuran aeroponik dan hidroponik mengalami
peningkatan permintaan," ujar Merry, staf pemasaran. Tak pelak, perluasan
areal penanaman hingga 30% dari luasan 20-30 ha.
Ida Bastari bersama suami Ir Daud, pemilik Abbas Agri Farm
di Cipanas itu juga menuai laba tinggi. Ia memasok berbagai jenis sayuran
hidroponik seperti kailan, pakcoy, bermacam jenis selada, dan sayuran daun
lain. Tidak tanggung- tanggung, permintaan mencapai 300 kg/ bulan untuk 2
komoditas andalan, kailan dan pakcoy.
Menurut Ida Bastari permintaan melonjak drastis pada musim
liburan, Natal, dan hari besar lain. "Permintaan hotel dan restoran naik
minimal 60%," katanya. Selada keriting misalnya, untuk sebuah perusahaan
distributor di Bintaro, Tangerang saja, ia harus menyiapkan 400- 600 pak
berbobot 250 g per bulan. "Itu belum termasuk tambahan permintaan dari
hotel-hotel," tambahnya.
Kurang pasokan
Besarnya permintaan yang masuk ke Parung Farm membuat Matius
kewalahan memenuhi pasokan. "Sekarang sulit cari barang," katanya.
Sulitnya mendapat pasokan sehingga permintaan ekspor ke Amerika Serikat pun tak
terpenuhi. Sama halnya yang dialami Bastari. Lonjakan permintaan membuatnya
kelabakan mencari pasokan.
"Produksi kebun hanya bisa memenuhi 60-70% dari
permintaan," kata Bastari. Makanya untuk menjaga kontinuitas produksi ia
bermitra dengan petani agar kekurangan 30% dapat tertutupi.
Tak heran bila para pekebun aeroponik dan hidroponik lain
berusaha meningkatkan produksi. "Produksi kita terbatas karena luasan
lahan tidak mencukupi," kata Agus. Menurut kelahiran Bandung 33 tahun
silam itu total produksi 2 kebun yang dikelola 3- 4 ton sebulan sedangkan
permintaan bisa 50% lebih tinggi dari produksi.
Sementara untuk memboyong teknologi aeroponik ke kebun
membutuhkan biaya tinggi. "Membuat greenhouse, bak nutrisi, nozel,
listrik, hingga tenaga kerja membutuhkan modal puluhan bahkan ratusan juta
rupiah," tutur Agus.
Besarnya modal untuk membangun greenhouse hidroponik diamini
Riza. Menurut kalkulasinya, skala ekonomis budidaya aeroponik dan hidroponik
pada luasan 5.000 m2. "Kalau di bawah luasan itu, untung sangat kecil
malah cenderung rugi," kata suami Aslis Lerningtias itu. Menurut kelahiran
Bandung 34 tahun silam itu untuk membangun greenhouse lengkap dengan sarananya
membutuhkan modal yang tidak sedikit. Itu belum termasuk biaya bibit dan tenaga
kerja.
Walaupun padat modal tetapi keuntungan yang diraup besar.
Apalagi kemudahan teknologi memberikan harapan untuk diusahakan dalam skala
besar maupun rumah tangga. Toh, sampai saat ini pasokan belum terpenuhi.
Artinya kesempatan mengusahakan sayuran aeroponik dan hidroponik tetap terbuka.
PUSTAKA: http://www.agrosukses.com
DIREKTORI: http://www.direktoriagrobisnis.com
GABUNG DI MILIS: http://bit.ly/bQX5lK